KiAgeng Suryomentaram juga meninggalkan warisan yang sangat berharga yaitu KAWRUH PANGAWIKAN PRIBADI atau yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan KAWRUH JIWA bagi kita semua yang bersedia melepaskan segala atribut keangkuhan kita, bagi kita yang bersedia menjadi manusia sederhana dan rendah hati, yang mendambakan masyarakat Indonesia damai sejahtera. Kitatelah melihat bagaimana suatu hari KAS berhasil menemukan diri sejatinya, sebuah penyingkapan diri yang kemudian membuatnya berujar: "Suryomentaram dudu aku" (Suryomentaram bukan saya). Untuk menjelaskan proses "menemukan diri yang baru" itu, dia mengingat sebuah kejadian yang telah mengubah hidupnya: suatu hari dalam perjalanan menuju Parangtritis dia terhadang oleh banjir di Kali Opak. Ajarantentang ketabahan batin dalam menghadapi kesulitan hidup ini Ki Ageng sampaikan dalam sebuah wejangan yang berjudul Piageming Gesang, atau pegangan hidup, yang kemudian dimuat dalam buku Kawruh Jiwa: Wejanganipun Ki Ageng Suryomentaram 2 (1991, hal. 95-105) dengan judul yang sama. Tulisan ini banyak mengambil materi dari bab tersebut dengan memberinya bumbu contoh kasus sehari-hari. Kebahagiaanmenurut Ki Ageng adalah penemuan dan pemahaman yang mendalam akan diri sendiri. Kebahagiaan ini adalah kebahagiaan yang bebas, kebahagiaan yang tidak terikat tempat, waktu, dan keadaan. Sampai akhir hayatnya, Ki Ageng selalu menyuarakan tentang kunci kebahagiaan hidup. PsikologiSuryomentaram. Penulis : Afthonul Afif. Penerbit: IRCiSoD. Cetakan : 2020. Halaman : 238 hlm. Ukuran : 14 x 20 cm. "Kehidupan bahagia sejati adalah kebahagiaan yang tidak lagi terikat oleh tempat, waktu dan keadaaan (mboten gumantung papan, wekdal lan kawontenan).". Ki Ageng Suryomentaram. Buku ini dibuka dengan pengantar oleh Irfan Afifi. olehKi Ageng sebagai "rasa bahagia" atau Bejo. Rasa bahagia itu sebagai se- Rasa bahagia itu sebagai se- suatu kondisi yang bebas tidak tergantung pada tempat, waktu, dan keadaan. 9 XASurk4. - Perjalanan singkat dari Yogyakarta ke Surakarta pada awal abad ke-20 itu telah membuka mata hati Pangeran Suryomentaram. Di dalam gerbong kereta api, sang pangeran tertegun kala memandang ke luar, melihat para petani yang sedang bekerja di sawah. Begitu sederhananya mereka, berbeda dengan kehidupan yang dijalaninya di istana selama ini. Sekembalinya di keraton, Suryomentaram menjadi sering gelisah. Beberapa kali ia pergi untuk menenangkan diri. Terkadang berziarah ke gua-gua yang dulu kerap dikunjungi leluhurnya, atau ke pantai selatan. Di tempat-tempat sunyi itulah salah seorang anak kesayangan Sultan Hamengkubuwana VII 1877-1921 ini bermeditasi demi ketenteraman jiwanya yang terus saja suatu hari, sang pangeran sudah tidak tahan lagi. Ia pergi meninggalkan istana dan berjalan sendirian, tanpa mengenakan pakaian yang menunjukkan bahwa ia seorang putra raja, hanya membawa bekal Sang Pangeran Bernama kecil Raden Mas Kudiarmadji, Suryomentaram merupakan anak ke-55 Hamengkubuwana VII. Ia lahir di lingkungan keraton Yogyakarta pada 20 Mei 1892. Ibunya adalah salah satu istri selir raja, yakni Raden Ayu Retnomandojo, putri Patih Danureja VI. Pangeran Suryomentaram memutuskan pergi tanpa pamit setelah permintaannya ditolak sang ayah. Ia meminta agar diizinkan menanggalkan gelar pangeran, namun Hamengkubuwana VII tidak menyetujuinya. Setelah Suryomentaram pergi, barulah Raja Yogyakarta itu menyesal. Hamengkubuwana VII kemudian mengutus beberapa orang kepercayaannya untuk mencari di mana keberadaan sang putra kesayangan pada suatu ketika, salah seorang utusan raja melihat sosok yang mirip dengan pangeran yang sedang dicari-cari. Namun, orang itu sangat kumal laiknya rakyat miskin kebanyakan, sedang bersama-sama kuli lainnya menggali sumur di suatu desa kecil di wilayah sebelah barat utusan raja memberanikan bertanya kepada orang itu, menanyakan namanya. Dijawab bahwa ia bernama Natadangsa. Mendengar suara yang ditanya, utusan raja itu semakin yakin bahwa Natadangsa tidak lain adalah Pangeran dengan hormat, Natadangsa dimohon pulang ke istana karena telah membuat ayahanda dan ibundanya khawatir. Lantaran kedoknya terbongkar, Natadangsa terpaksa menurut, dan mengikuti utusan itu kembali ke Kasultanan alias Suryomentaram hidup serabutan selama masa pengembaraan itu. Selain terkadang menjadi kuli, ia juga bekerja apa saja untuk sekadar bertahan hidup. Jualan batik dan buruh tani pernah istana, ia lagi-lagi tidak betah karena merasa tidak cocok dengan kehidupan mewah sebagai anak raja. Cobaan bagi Suryomentaram bertambah setelah sultan menceraikan ibundanya dan membebastugaskan kakeknya, Patih Danureja VI, disusul dengan kematian istrinya. Namun, demi menghormati sang ayah, Suryomentaram sebisa mungkin VII—yang sebenarnya sudah turun takhta sejak 29 Januari 1921—wafat pada 30 Desember 1931. Dituliskan oleh Prof. Dr. dr. Daldiyono 2014 dalam buku Ilmu Slamet, Suryomentaram turut mengusung jenazah sang ayah, namun tidak mau mengenakan pakaian kebesaran pangeran, melainkan memakai baju lusuh, bahkan bertambal-sulam hlm. 18.Dalam perjalanan pulang dari pemakaman, Suryomentaram memisahkan diri dari rombongan dan singgah di sebuah warung. Ia memesan pecel, makan dan duduk lesehan bersama rakyat jelata. Sontak, kelakuan itu membuat para pangeran lainnya merasa malu. Mereka bahkan menyebut Suryomentaram sudah Gelar Ningrat Setelah ayahandanya meninggal dunia, Suryomentaram memohon kepada saudara tirinya yang sudah bertakhta menjadi raja, Hamengkubuwana VIII 1921-1939, agar diizinkan meninggalkan merasa “tidak pernah bertemu orang” selama hidup di lingkungan istana. Orang yang ia maksud adalah rakyat yang sebenarnya, orang-orang yang harus bekerja keras untuk menghidupi keluarga, orang-orang yang hidup sederhana dan apa Hamengkubuwana VIII, permohonan Suryomentaram dikabulkan. Bahkan, pemerintah kolonial Hindia Belanda memberinya uang pensiun lantaran berstatus sebagai pangeran. Namun, uang tersebut ditolak Suryomentaram karena ia merasa tidak pernah bekerja untuk pemerintah pergi, Suryomentaram menjual seluruh harta benda yang dimilikinya. Uang hasil penjualan mobil diberikan kepada sopirnya, sedangkan hasil penjualan kuda diberikan kepada abdi dalem yang selama ini merawat kuda tersebut hlm. 19.Dengan berbekal uang secukupnya, Suryomentaram meninggalkan keraton untuk keduakalinya, barangkali ini untuk selama-lamanya karena ia memang tidak pernah berniat kembali ke istana. Gelar pangeran pun kini benar-benar ditinggalkan, ia mengganti namanya menjadi Ki Ageng berjalan jauh menuju ke utara, dan membeli sebidang tanah di Desa Beringin, Salatiga. Di sana, ia hidup dengan bercocok tanam sebagai petani, bergaul dengan rakyat jelata, menjalani kehidupan sebagai orang mengasingkan diri, Suryomentaram tetap menjalin relasi dengan beberapa pangeran yang memilih menepi seperti dirinya, termasuk Ki Hajar Dewantara, Ki Sutapa Wanabaya, Ki Prana Widagdo, Ki Prawira Wirawa, Ki Suryadirja, Ki Sujatmo, Ki Subono, dan Ki Suryaputra. Mereka membentuk perkumpulan dan menggelar sarasehan rutin setiap malam Selasa tokoh ini punya tugas sesuai spesialisasinya. Ki Hajar, misalnya, seperti dicatat Abdurrachman Surjomihardjo dalam Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa dalam Sejarah Indonesia Modern 1986, memperoleh bagian di bidang pengajaran, dengan mendidik anak-anak muda yang ikut dalam sarasehan tersebut. Pangeran dari Kadipaten Pakualaman bernama asli Soewardi Soerjaningrat ini adalah pendiri Perguruan Taman Siswa hlm. 10. Merumuskan Ilmu Bahagia Suryomentaram tertarik mempelajari ilmu jiwa atau psikologi. Ia mencurahkan daya dan perhatiannya untuk menyelidiki alam kejiwaan manusia dengan menggunakan dirinya sebagai kelinci percobaan, demikian menurut Adimassana dalam Ki Ageng Suryomentaram tentang Citra Manusia 1986 23.Adimassana menambahkan, pemahaman Suryomentaram tentang manusia seluruhnya bertitik tolak dari pengamatannya terhadap diri sendiri. Ia merasakan, menggagas dan menginginkan sesuatu, menandai adanya gerak kehidupan di dalam batin manusia. Suryomentaram mencoba membuka rahasia kejiwaan manusia yang dilihatnya sebagai sumber yang menentukan perilaku manusia dalam eksperimen tersebut, Suryomentaram menyimpulkan bahwa manusia tidak bisa melepaskan diri dari dunia yang melingkupinya. Manusia selalu bergaul dengan lingkungan di sekitarnya dan selalu terkait dengan itu, yang kemudian menunjukkan perilaku manusia tersebut. Alasan itulah yang membuat Suryomentaram sungguh-sungguh mantap keluar dari istana, dari lingkungan keraton yang bermewah-mewahan. Ia ingin bersatu dengan alam dan kehidupan manusia yang sebenar-benarnya sehingga antara dirinya dengan lingkungan yang melingkupinya bisa tercipta keselarasan, baik lahir maupun seperti yang tertulis dalam Puncak Makrifat Jawa Pengembaraan Batin Ki Ageng Suryomentaram 2012 karya Muhaji Fikriono, sangat yakin bahwa untuk memahami manusia yang universal cukup dengan mengamati dan menyadari rasa yang ada pada diri sendiri. Infografik mozaik Ki Ageng Suryomentaram. yang didalami Suryomentaram itu dikenal dengan istilah kawruh jiwa atau kawruh begja ilmu bahagia. Menurut Abdul Kholik & Fathul Himam dalam “Konsep Psikoterapi Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram” yang dimuat di Gadjah Mada Journal of Psychology Mei 2015, ia menjadikan metode itu sebagai perangkat analisis olah rasa untuk mengembangkan kualitas hidup dengan landasan introspeksi diri hlm. 122.Meskipun mendalami ilmu kebatinan, Suryomentaram menghindari unsur mistik atau klenik, ia berangkat dari hal-hal yang nyata dan ilmiah. Oleh karena itu, Suryomentaram memilih memakai kata kawruh yang lebih rasional daripada kata ngelmu yang lekat dengan konteks bahagia, bagi Suryomentaram, berasal dari diri manusia itu sendiri. Ada tiga unsur utama yang ada dan kekal dalam diri manusia, yang oleh Suryomentaram disebut sebagai “Zat, Kehendak, dan Aku”. Ketiga unsur ini merupakan asal dari segala sesuatu.“Zat itu ada, tidak merasa apa-apa dan tidak merasa ada. Kehendak itu ada, merasa apa-apa, dan tidak merasa ada. Aku itu ada, tidak merasa apa-apa, dan merasa ada,” demikian rumusan bahagia ala Ki Ageng Suryomentaram, seperti dikutip dari Al-Ikhlash Bersihkan Iman dengan Surah Kemurnian 2008 176 karya Achmad menebarkan apa yang dipelajarinya dengan memberikan ceramah di berbagai tempat. Bahkan, ia pernah diundang Presiden Sukarno ke Istana Merdeka Jakarta pada 1957. Kepada Suryomentaram yang menghadap dengan pakaian sederhana, Bung Karno meminta nasihat dalam mengelola wafat pada 18 Maret 1962, tepat hari ini 57 tahun lalu, Suryomentaram telah menghasilkan sejumlah karya yang ditulis dalam bahasa Jawa, seperti Pangawikan Pribadi, Kawruh Pamomong, Piageming Gesang, Ilmu Jiwa, Aku Iki Wong Apa, dan lainnya. Ajaran kebahagiaan Suryomentaram hingga kini terus dipelajari dan diterapkan oleh komunitas budaya yang tersebar di sejumlah tempat di Jawa.==========Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 24 Maret 2018 dengan judul "Hidup Bahagia ala Ki Ageng Suryomentaram". Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik. - Sosial Budaya Penulis Iswara N RadityaEditor Ivan Aulia Ahsan Skip to content katagâ kataga grammatical particle Mga Halimbawa ng Kataga sa Tagalog Examples of Grammatical Particles in Tagalog pa still man yet din too na already Bata pa siya. She’s still young. May papel din ako. I have paper too. Kumain na ako. I’ve eaten already. MGA KAHULUGAN SA TAGALOG katagâ salitâ; yunit ng wika, binubuo ng isa o higit pang binibigkas na tunog o nakasulat na representasyon at nagsisilbing tagapaghatid ng anumang ipinahahayag ng isip, kilos, o damdamin katagâ maikling salita, karaniwang walang kahulugan Post navigation Answer pamilya,masaya,nakakamatay,masarap,masakit,mahirap Answerpatient/ paghintayExplanationlove can wait, ayun ang isa sa mga dahilan kung bakit mas tumitibay ang relasyon you need to take time for you to be mature when it comes to naman patient is a virtue Digmaan - Kasi Love is War edi translate mo wag puro ganyan you need to learn how to translate english into tagalog Kaakibat ng paggunita natin sa Araw ng Kagitingan ang ating pagpupugay sa mga beterano, sa ating mga sundalo, at sa bawat Pilipinong lumaban sa pang-aapi ng dayuhan at ipinagtanggol ang kasarinlan ng Inang Bayan. Freedom from colonial yoke was not achieved overnight. It became possible because there were Filipinos who had the courage and determination to fight for what is just and right; they were true leaders who stepped up to inspire others to reclaim our national dignity and stand up for the future of our country. Silang mga walang takot na hinarap ang mga bala at bayoneta, silang mga nagbuwis ng buhay sa napakahabang martsa, sa ngalan ng kalayaan at pagtatanggol ng para sa atin. Ngayon po, may mga bago at mas matinding hamon pa ang hinaharap natin. Ang pamahalaan na inaasahang maging kakampi ng taumbayan, ay siya pa mismong pumapatay sa mga Pilipino, gumagahasa sa hustisya, nilalabag ang ating mga karapatan, hinahayaan ang dayuhang angkinin ang ating mga teritoryo, at yurakan ang ating kasarinlan. Kaya naman ang panawagan sa lahat Sa ating pagbabalik-tanaw at pagsasabuhay sa mga aral ng Araw ng Kagitingan, suriin din natin ang ginagawang kapabayaan ng gobyerno para ipagwalang bahala ang sakripisyo ng magigiting na Pilipino, iparamdam sa kanila ang ating pagkadismaya, at matinding hangarin para sa tunay na pagbabago. Kasabay ng walang maliw na pasasalamat sa ating mga beterano, nagpapasalamat din po tayo sa mga walang takot na lumalaban ngayon para sa kapakanan ng kapwa at bansa-mula sa mga obispo at kaparian na di-natitinag sa pagkondena sa baluktot na mga polisiya, sa mga kawani ng media sa patas at makatotohanang pagbabalita, sa mga miyembro ng oposisyon sa pagsusulong ng katarungang panlipunan at demokrasya, at sa mga ordinaryong kababayan natin na nagmamalasakit sa bayan at tumitindig para sa lahat. Mahigit isang buwan na lang mula ngayon, magaganap na ang halalan, kung saan nasa kamay po natin ang magiging kapalaran ng bansa sa mga susunod na taon. Nagkakaisa at buong loob sana nating gampanan ang ating tungkulin na bumoto nang naaayon sa ating konsensya, at piliin ang mga pinunong tunay na magtatanggol sa Pilipino at sa mapagpalayang araw po sa inyong lahat! Berbicara kehidupan tentu tidak akan pernah lepas dari yang namanya persoalan, baik persoalan dalam tata pergaulan maupun persoalan atas diri sendiri, yang berdampak pada hilangnya “rasa bahagia”. Dalam hidup bicara kebahagiaan memang persoalan yang subjektif, namun tidak jarang bagi sebagian orang dengan kejinya rela bercakar-cakaran, rela curiga, rela bertengkar dan lebih jauh rela menyalahkan keadaan ketika dirinya tidak merasa bahagia. Hingga melahirkan kesan bahwa dirinya tidak cukup dewasa dalam memahami realitas. Bahkan sering kita dengar kata-kata “bahagia itu sederhana”, akan tetapi ketika kata-kata itu dihadapkan pada persoalan yang lebih besar, diri kita tidak mampu menyikapinya dengan bijak, sehingga dengan mudah menyalahkan keadaan. Oleh karena itu, tidak jarang banyak berbagai pemikir telah melahirkan begitu banyak karya dan pemikiran untuk memahami persoalan tentang rasa manusia. Salah satunya adalah Ki Ageng Suryomentaram. Ki Ageng Suryomentaram sendiri adalah putra Sri Sultan Hamengkubuwono VII yang ke-55 dari 78 bersaudara. Lahir pada hari Jumat Kliwon, 20 Mei 1892 dari ibu Bendoro Raden Ayu Retnomandoyo, putri Patih Danurejo VI, dengan nama kecil Bendoro Raden Mas Kudiarmaji. Sejak kecil Ki Ageng Suryomentaram tidak berbeda dengan anak-anak sebayanya beliau bersekolah di sekolah Srimanganti yang berada di lingkungan Kraton Yogyakarta. Selepas dari Srimanganti, beliau melanjutkan pendidikannya dengan mengikuti kursus Klein Ambtenaar, yang mempelajari bahasa Belanda, Inggris, dan Arab. Setelah selesai kursus, beliau bekerja di kantor gubernur selama 2 tahun. Sejak kecil Ki Ageng Suryomentaram memiliki kegemaran membaca buku-buku seperti, filsafat, sejarah, dan agama. Pendidikan agama Islam beliau dapatkan langsung dari Achmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Pada usianya mencapai 18 tahun Ki Ageng Suryomentaram pun diangkat sebagai Pangeran dengan gelar Bendoro Pangeran Haryo Suryomentaram. Namun, pengangkatannya sebagai pangeran ini membuat Ki Ageng Suryomentaram sedikit kecewa ketika kakeknya Patih Danurejo VI diberhentikan sebagai patih dan akhirnya meninggal dunia. Pada saat Ki Ageng Suryomentaram memohon kepada ayahandanya untuk memakamkan kakeknya di Imogiri, ayahandanya menolak. Penolakan inilah yang membuat Ki Ageng Suryomentaram kecewa, meski terlahir dari anak seorang raja dengan segala fasilitas yang begitu mewah tetap saja dalam diri Ki Ageng Suryomentaram ada rasa gelisah dan kecewa. Rasa gelisah dan kecewa ini pun semakin besar dirasakan dalam diri Ki Ageng Suryomentaram. Bahkan dalam perjalanannya ketika dirinya sedang melaju menggunakan kereta, sang Pangeran melihat dirinya sebagai orang yang telah terkamuflase oleh pakaian yang digunakannya dari sutera, juga berbagai perhiasan berupa emas dan berlian yang dikenakannya. Dengan pakaian dan perhiasan yang mewah ini, membuat dirinya seakan-akan berbeda dengan kebanyakan orang. Dan pada saat itu dirinya berkata kepada dirinya sendiri, “Jika Suryomentaram ini tak lagi memiliki harta benda semat, kedudukan drajat, dan wibawa kramat, yang tersisa hanyalah orangnya saja”. Maka, dengan kegalauan dan perasaan keingintahuannya terhadap masalah kejiwaan, hakekat kehidupan, dan kebahagiaan. Telah membawa Ki Ageng Suryomentaram keluar dari kraton dengan melepaskan gelar kepangerannya dan pergi untuk mengembara. Memahami kehidupan Ki Ageng Suryomentaram telah menarik perhatian begitu besar bagi kebudayaan bangsa Indonesia terkait dengan masalah perenungan filosofis. Mengingat pertanyaan yang dilemparkan Suryomentaram terkait hakekat hidup persis seperti filsuf-filsuf besar dunia. Namun, yang menarik dari pemikirannya adalah sifat orisinalnya yang khas Indonesia karena lahir dari budaya dan masyarakatnya. Sebagaimana dikatakan oleh Radhar Panca Dahana, bahwa wejangan Ki Ageng Suryomentaram menemukan gagasannya dalam peristiwa, dalam hidup yang berjalan, dan dalam diri orang-orang yang bergelut dalam keseharian, hingga banyak yang menyatakan bahwa gagasan Ki Ageng Suryomentaram adalah filsafat khas Indonesia. Gagasan filsafat khas Indonesia yang lahir dari kegalauan, perjalanan dan perenungan filosofis Ki Ageng Suryomentaram inilah yang melahirkan pengetahuan tentang kawruh jiwa atau ilmu jiwa science of the soul atau ilmu tentang pengetahuan diri science of self knowledge. Kawruh Jiwa adalah pengetahuan mengenai jiwa. Di mana jiwa adalah sesuatu yang tidak kasat mata, akan tetapi keberadaannya dapat dirasakan. Oleh karena itu Ki Ageng Suryomentaram mengatakan bahwa kawruh jiwa adalah ilmu tentang “rasa”. Dengan memahami kawruh jiwa, seseorang diharapkan dapat hidup tulus, tentram, penuh kasih sayang dan percaya diri. Salah satu gagasan dalam kawruh jiwa yang perlu dipahami terkait tentang persoalan diri sendiri dan kebahagiaan adalah karep dan mulur mungkret. Sebagaimana Ki Ageng Suryomentaram jelaskan bahwa sejatinya dalam diri manusia ada karep keinginan, watak karep ini adalah mulur-mungkret mengembang-menyusut. Bila keinginan tercapai akan mulur dan bila tidak tercapai akan mungkret. Dalam kehidupan sehari-hari terkait dengan rasa dan kebahagiaan inilah yang harus menjadi ukuran dalam mengatur keinginan agar tidak melampaui batas kemampuan dengan selalu menyalahkan keadaan dan melanggar batas-batas norma yang ada. Sebagai contoh, bila seseorang menginginkan sepeda. Dan keinginannya itu tercapai maka ia akan mulur mengembang dengan menginginkan yang lebih tinggi, seperti motor. Namun apabila keinginan memiliki motor tidak terpenuhi secara alamiah seharusnya seseorang bersedia mungkret menyusut, menerima dulu apa yang dimilikinya. Jika melihat dalam konteks yang lebih jauh apa yang Ki Ageng Suryomentaram ajarkan ini ternyata sejalan dengan konsep rasa syukur, sebagaimana janji Gusti Allah dalam Ibrahim 7, “Dan ingatlah juga, tatkala Rabbmu memaklumkan, sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah nikmat kepadamu, dan jika kamu mengingkari nikmat-Ku, maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. Jadi, dengan pemahaman tersebut seharusnya sebagai manusia tidak perlu merasa frustasi dan bertindak melampaui batas serta mengatakan hal-hal yang justru menunjukkan ketidakmampuannya dalam bersyukur. Selain itu, dalam gagasan kawruh jiwa juga menunjukkan akan adanya bungah-susah gembira-susah yang bersifat langgeng. Di mana tidak ada kegembiraan yang terus-menerus, dan tidak ada kesedihan yang terus menerus. Keduanya hadir secara bergantian. Sehingga dalam hidup tidak ada yang perlu dikhawatirkan dan dikeluhkan. Gagasan ini pun sejalan dengan pepatah kuno dari tanah Jawa tentang urip iku mung sawang sinawang, mula aja mung nyawang sing kesawang’, artinya hidup itu hanya tentang melihat dan dilihat, jadi jangan hanya melihat dari apa yang terlihat. Pemahaman ini sangat efektif bila dipraktikkan dalam kehidupan untuk membesarkan hati bagi pihak yang tertimpa kesusahan besar, karena ia mengetahui bahwa kesusahannya tidak berkepanjangan dan lebih jauh tidak mudah iri dengan kebahagiaan orang lain. Oleh karena itu ada ungkapan yang terkenal dari Ki Ageng Suryomentaram,“Di atas bumi dan di kolong langit tidak ada barang yang pantas dicari, dihindari atau ditolak secara mati-matian. Meskipun demikian manusia itu tentu berusaha mati-matian untuk mencari, menghindari atau menolak sesuatu, walaupun itu tidak sepantasnya dicari, ditolak atau dihindarinya. Bukankah apa yang dicari, atau ditolaknya itu tidak menyebabkan orang bahagia dan senang selamanya, atau celaka dan susah selamanya. Tetapi pada waktu orang menginginkan sesuatu, pasti ia mengira atau berpendapat bahwa jika keinginanku tercapai, tentulah aku bahagia dan senang selamanya, dan jika tidak tercapai tentulah aku celaka dan susah selamanya”. Ungkapan Ki Ageng Suryomentara di atas merupakan cara untuk menghindari perasaan getun-sumelang. Getun artinya kecewa terhadap sesuatu yang telah terjadi dan sumelang artinya khawatir atas sesuatu yang akan terjadi. Jika seseorang terjebak pada perasaan getun-sumeleng, maka dia akan sulit bersifat objektif dan tulus dalam memahami realitas. Dan orang yang mampu keluar dari belenggu getun-sumeleng akan memasuki perasaan tenang dan percaya diri hingga mudah memperoleh kebahagiaan. Inilah sikap dan perasaan yang perlu dikedepankan seseorang untuk memaknai sebuah realitas hidup dan kehidupan, khususnya terkait dengan masalah kebahagiaan. Untuk itu dibutuhkan kejujuran dan keikhlasan yang diringi rasa syukur untuk mampu memahami persoalan yang dihadapi sebenar-benarnya. [zombify_post]

kata bijak ki ageng suryomentaram